Sosial Masyarakat

Kesetaraan Kerja di Sektor Informal bagi Perempuan

2
×

Kesetaraan Kerja di Sektor Informal bagi Perempuan

Sebarkan artikel ini
Kesetaraan Kerja di Sektor Informal bagi Perempuan

Hingga hari ini, banyak perempuan Indonesia menggantungkan hidupnya pada sektor informal. Mereka berdagang kecil-kecilan, menjadi buruh tani musiman, membuka warung di rumah, atau bahkan menjadi tenaga kebersihan tanpa perlindungan kerja. Di balik kontribusi besar itu, persoalan kesetaraan kerja di sektor informal bagi perempuan masih jadi isu yang jarang dibahas secara mendalam.

Meski bekerja keras setiap hari, sebagian besar perempuan sektor informal tidak mendapat pengakuan hukum dan hak-hak ketenagakerjaan yang layak. Tidak ada asuransi, tidak ada cuti melahirkan, bahkan upah pun sering tak sesuai dengan beban kerja. Ini adalah bentuk ketimpangan nyata yang perlu diubah.

Realitas ini tidak hanya menyangkut ekonomi, tetapi juga menyangkut keadilan sosial dan penghormatan terhadap martabat perempuan. Padahal, jika diberi akses dan dukungan setara, perempuan bisa menjadi motor penggerak ekonomi keluarga dan masyarakat.

Kesetaraan kerja bukan hanya soal gaji yang adil. Ini juga menyangkut akses terhadap pelatihan, lingkungan kerja yang aman, dan perlindungan sosial yang memadai. Untuk itu, kita perlu membahas lebih dalam bagaimana kesetaraan kerja bagi perempuan di sektor informal bisa diwujudkan secara sistematis.

Melalui ulasan berikut, kita akan membedah aspek-aspek penting yang bisa mendorong transformasi nyata bagi perempuan pekerja informal di Indonesia:


Akses Perlindungan Sosial yang Setara dan Inklusif

Salah satu masalah utama yang dihadapi perempuan di sektor informal adalah ketiadaan perlindungan sosial. Mereka bekerja setiap hari tanpa jaminan kesehatan, asuransi kecelakaan kerja, apalagi pensiun. Akibatnya, saat sakit atau hamil, mereka terpaksa berhenti tanpa kompensasi.

Padahal, negara sudah menyediakan beberapa skema perlindungan seperti BPJS Ketenagakerjaan untuk pekerja informal. Sayangnya, masih banyak perempuan yang tidak tahu cara mendaftar atau merasa prosesnya terlalu rumit dan mahal.

Pemerintah perlu bekerja sama dengan komunitas lokal untuk melakukan sosialisasi dan pendampingan. Harus ada pendekatan yang bersifat partisipatif agar perempuan merasa dilibatkan, bukan diberi instruksi sepihak.

Selain itu, pelaku usaha informal skala mikro perlu diberi insentif jika memfasilitasi pekerja perempuannya ikut dalam program jaminan sosial. Hal ini bisa menumbuhkan kesadaran kolektif tentang pentingnya perlindungan kerja bagi perempuan.

Tanpa akses perlindungan sosial yang adil, maka kesetaraan hanya jadi jargon tanpa makna nyata.


Pendidikan dan Pelatihan Keterampilan yang Relevan

Perempuan di sektor informal seringkali bekerja berdasarkan kebutuhan, bukan pilihan. Mereka tidak punya cukup waktu atau sumber daya untuk belajar keterampilan baru. Padahal, peningkatan kapasitas sangat penting agar mereka tidak terjebak di pekerjaan yang berupah rendah.

Pemerintah daerah, NGO, dan sektor swasta harus bersinergi dalam memberikan pelatihan keterampilan kerja bagi perempuan, seperti menjahit, membuat produk olahan, pemasaran digital, hingga literasi keuangan.

Pelatihan harus sesuai kebutuhan lokal dan diberikan dalam waktu yang fleksibel. Misalnya, kelas malam untuk ibu rumah tangga, atau pelatihan berbasis daring bagi pekerja harian.

Selain itu, penting juga membangun ruang-ruang belajar yang aman dan nyaman bagi perempuan, termasuk menyediakan layanan penitipan anak agar mereka bisa fokus mengikuti pelatihan.

Dengan keterampilan baru, perempuan bisa naik kelas — dari buruh harian menjadi pelaku usaha mandiri. Inilah bentuk nyata dari kesetaraan ekonomi berbasis pemberdayaan.


Pengakuan Legal terhadap Pekerja Perempuan Informal

Hingga saat ini, sebagian besar pekerja perempuan di sektor informal tidak tercatat dalam sistem hukum negara. Mereka bekerja, tetapi tidak diakui sebagai bagian dari angkatan kerja resmi. Padahal, kontribusi ekonomi mereka sangat besar.

Pengakuan legal ini penting untuk membuka akses terhadap layanan publik, bantuan sosial, hingga perlindungan hukum. Misalnya, ketika terjadi pelecehan di tempat kerja atau pemutusan kerja sepihak, mereka bisa melapor dan mendapat keadilan.

Pemerintah bisa mulai dengan membuat database pekerja informal berbasis gender agar perencanaan program menjadi lebih akurat dan adil. Pendataan ini juga bisa digunakan untuk memberikan pelatihan yang tepat sasaran.

Selain itu, regulasi daerah perlu didorong untuk mengatur sistem kerja informal secara lebih manusiawi dan pro-perempuan. Ini bukan soal mengontrol, tapi soal melindungi.

Legalisasi pekerja informal bukan untuk membatasi, tetapi untuk menguatkan posisi tawar perempuan di ruang kerja yang selama ini tidak berpihak pada mereka.


Kampanye Kesetaraan dan Penghapusan Stereotip Gender

Perempuan di sektor informal sering diremehkan. Mereka dianggap “sekadar membantu suami” atau bekerja sambil mengisi waktu. Padahal, banyak dari mereka adalah tulang punggung keluarga yang menanggung seluruh biaya hidup rumah tangga.

Stigma gender seperti ini harus dilawan dengan kampanye publik yang sistematis dan masif. Media sosial, radio komunitas, dan influencer lokal bisa dilibatkan untuk mengubah cara pandang masyarakat.

Kampanye ini juga harus menyasar laki-laki, agar mereka tidak melihat kerja perempuan sebagai ancaman atau aib. Edukasi tentang kesetaraan peran dalam keluarga bisa menjadi salah satu pendekatan yang efektif.

Di beberapa wilayah, komunitas perempuan mulai membuat cerita visual tentang perjuangan mereka, yang kemudian viral di Facebook dan TikTok. Cerita ini tidak hanya menyentuh, tapi juga menggugah aksi kolektif.

Tanpa perubahan budaya, kebijakan sebaik apapun tak akan berhasil. Karena itu, kampanye kesetaraan adalah jantung dari revolusi kerja yang berpihak pada perempuan.


Dukungan Keluarga dan Komunitas yang Kuat

Kesetaraan kerja bukan hanya urusan pemerintah. Lingkungan sekitar juga berperan besar dalam menciptakan ruang aman bagi perempuan untuk bekerja dan berkembang.

Dukungan keluarga, terutama dari pasangan dan anak-anak, sangat krusial. Mereka perlu memahami bahwa pekerjaan perempuan bukanlah pengganggu keharmonisan rumah, tapi justru bagian dari kontribusi keluarga.

Komunitas lokal juga bisa membentuk forum perempuan informal yang saling mendukung. Forum ini bisa menjadi tempat berbagi informasi, membangun jaringan usaha, hingga merancang advokasi ke pemerintah setempat.

Dengan jaringan yang kuat, perempuan pekerja informal tidak akan merasa sendirian. Mereka punya ruang untuk tumbuh, bersuara, dan bernegosiasi.

Solidaritas lokal adalah kekuatan terbesar dalam memperjuangkan keadilan kerja berbasis gender.


Inovasi Kebijakan Pro-Perempuan di Tingkat Lokal

Perubahan besar dimulai dari kebijakan kecil di level desa atau kelurahan. Banyak desa yang kini mulai memasukkan program pemberdayaan perempuan informal dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes).

Inovasi ini bisa berbentuk anggaran pelatihan, bantuan peralatan usaha, hingga skema simpan pinjam khusus perempuan. Pemerintah daerah juga bisa memberikan insentif pajak bagi pelaku usaha yang merekrut pekerja perempuan dengan sistem yang adil.

Selain itu, penting ada indikator keberhasilan berbasis gender dalam program pembangunan. Artinya, keberhasilan tidak hanya dilihat dari jumlah proyek, tapi dari seberapa besar program itu meningkatkan kesejahteraan perempuan.

Dengan kebijakan lokal yang responsif gender, kesetaraan kerja di sektor informal bukan lagi utopia.


Kesimpulan

Sudah saatnya perempuan di sektor informal mendapat pengakuan, perlindungan, dan ruang yang setara dalam dunia kerja.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *