BrebesGo.id – Di tengah derasnya arus modernisasi hukum, hukum adat Indonesia masih bertahan sebagai fondasi sosial budaya di berbagai daerah. Namun, bagaimana posisi hak-hak perempuan dalam hukum adat yang selama ini kerap diabaikan? Apakah perempuan mendapatkan tempat yang setara dalam sistem yang sarat nilai-nilai patriarki tersebut?
Tak dapat dimungkiri, di banyak komunitas adat, perempuan menghadapi tantangan berlapis. Mereka tidak hanya dibebani norma sosial yang kaku, tetapi juga seringkali dihadapkan pada sistem hukum adat yang tidak ramah gender. Bahkan, dalam beberapa kasus, perempuan tidak diakui sebagai ahli waris, pemimpin komunitas, atau pembuat keputusan penting.
Meski demikian, tidak semua hukum adat bersifat diskriminatif. Di sejumlah wilayah, seperti Minangkabau, hak perempuan dalam adat justru dijunjung tinggi, bahkan diwariskan secara matrilineal. Perbedaan ini menunjukkan bahwa hukum adat bukanlah entitas tunggal, tetapi refleksi dari kearifan lokal yang bisa berkembang dan bertransformasi.
Faktanya, perempuan adat di berbagai pelosok Nusantara kini mulai bersuara. Mereka menuntut keadilan atas nama budaya, bukan melawan budaya. Mereka ingin menegaskan hak-haknya dalam ranah sosial, ekonomi, dan hukum tanpa harus tercerabut dari akar tradisi.
Untuk itu, penting bagi kita memahami bagaimana posisi perempuan dalam hukum adat Indonesia bekerja, agar reformasi hukum dan budaya bisa berjalan beriringan. Berikut pembahasan mendalam tentang enam aspek penting yang perlu diperhatikan:
Warisan dan Kepemilikan Tanah oleh Perempuan Adat
Salah satu persoalan utama dalam hak perempuan adat adalah soal warisan dan kepemilikan tanah. Di banyak komunitas adat, warisan dianggap sebagai milik laki-laki, sementara perempuan hanya “menumpang” di tanah suami atau keluarga ayah.
Kondisi ini membuat perempuan sangat rentan saat mengalami perceraian, kematian suami, atau konflik tanah. Mereka bisa kehilangan tempat tinggal atau sumber penghidupan hanya karena status adat yang tidak mengakui mereka sebagai pewaris sah.
Namun, tidak semua sistem adat seperti itu. Di Minangkabau, tanah pusaka diwariskan kepada anak perempuan. Di beberapa daerah Papua, perempuan bahkan punya hak kontrol atas tanah ulayat.
Masalahnya, kebijakan agraria nasional seringkali mengabaikan sistem kepemilikan perempuan dalam adat. Sertifikat atas nama keluarga hampir selalu jatuh ke tangan laki-laki, meski secara adat tanah tersebut dikelola perempuan.
Penting bagi negara untuk menyelaraskan kebijakan agraria dengan realitas lokal yang berpihak pada hak milik perempuan adat. Tanpa itu, ketimpangan akan terus diwariskan lintas generasi.
Keterlibatan Perempuan dalam Pengambilan Keputusan Adat
Dalam banyak forum adat, suara perempuan nyaris tidak terdengar. Lembaga adat seperti lembaga musyawarah kampung atau dewan adat sering kali didominasi oleh laki-laki, bahkan ketika keputusan yang diambil berdampak langsung pada kehidupan perempuan.
Ketiadaan perempuan dalam ruang-ruang musyawarah ini bukan hanya masalah representasi, tapi juga berdampak pada kualitas kebijakan yang dihasilkan. Isu-isu seperti kesehatan reproduksi, pendidikan anak perempuan, dan kekerasan berbasis gender kerap diabaikan.
Beberapa komunitas sudah mulai membuka diri. Misalnya, di Bali dan Lombok, muncul inisiatif perempuan adat menjadi perbekel atau kepala dusun. Perempuan mulai duduk dalam posisi strategis dan menjadi bagian dari proses musyawarah adat.
Namun tantangannya tetap besar. Perlu dukungan dari komunitas dan negara untuk menghapus hambatan budaya dan membuka jalan bagi kepemimpinan perempuan adat yang lebih kuat dan inklusif.
Dengan begitu, perempuan tidak hanya menjadi pelengkap adat, tetapi aktor utama dalam membentuk masa depan komunitasnya.
Perlindungan terhadap Perempuan dari Kekerasan Adat
Tak jarang, perempuan menjadi korban kekerasan yang dibenarkan atas nama adat. Praktik seperti perkawinan paksa, pengusiran janda tanpa anak, atau sanksi sosial atas korban kekerasan seksual masih terjadi di sejumlah komunitas.
Yang lebih menyedihkan, lembaga adat justru ikut mempertahankan praktik ini karena dianggap “aturan lama” yang tak boleh diganggu. Korban perempuan pun dipaksa diam demi menjaga nama baik keluarga atau komunitas.
Padahal, hukum adat seharusnya hidup, tumbuh, dan mampu melindungi martabat manusia. Jika adat digunakan untuk menindas, maka perlu ada reformasi internal tanpa harus menghilangkan identitas budaya.
Beberapa komunitas sudah mulai membuat peraturan adat anti-kekerasan terhadap perempuan. Mereka mengubah sanksi, mengedepankan mediasi yang adil, dan memberikan ruang aman bagi korban untuk bersuara.
Negara perlu mendorong pendekatan berbasis budaya dalam penanganan kekerasan terhadap perempuan adat. Pendekatan ini akan lebih efektif jika dilakukan dari dalam komunitas, bukan sekadar melalui instruksi hukum positif.
Perempuan Adat dan Hak atas Pendidikan
Pendidikan adalah pintu utama pemberdayaan. Namun, perempuan adat masih mengalami hambatan besar untuk mengakses pendidikan formal, terutama di wilayah pedalaman. Biasanya, budaya lokal menempatkan perempuan sebagai penjaga rumah tangga, bukan pencari ilmu.
Akibatnya, banyak anak perempuan dipaksa menikah muda atau berhenti sekolah karena dianggap tidak perlu sekolah tinggi. Padahal, tanpa pendidikan, peluang untuk mandiri dan berdaya akan semakin sempit.
Beberapa komunitas kini mulai berubah. Perempuan adat didorong untuk menjadi guru lokal, relawan literasi, atau penyuluh bahasa ibu. Mereka menjadi agen perubahan di tengah komunitas, sekaligus penjaga nilai-nilai lokal melalui pendidikan.
Kurikulum berbasis adat juga mulai dikembangkan agar pendidikan tidak tercerabut dari budaya lokal. Ini penting agar generasi muda adat tetap mengenal jati diri dan nilai-nilai komunitasnya.
Negara dan organisasi sipil perlu memperkuat akses pendidikan bagi perempuan adat, terutama di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar), agar kesetaraan tidak hanya menjadi narasi, tapi realitas.
Status Janda dan Ibu Tunggal dalam Komunitas Adat
Dalam banyak sistem adat, status janda atau ibu tunggal masih menjadi stigma. Mereka dianggap tidak lagi produktif, bahkan dianggap beban sosial. Dalam beberapa kasus, janda bahkan dilarang mewarisi atau memiliki hak atas rumah yang mereka tinggali.
Kondisi ini memunculkan diskriminasi berlapis: sebagai perempuan, sebagai janda, dan sebagai kepala keluarga tanpa suami. Tak sedikit dari mereka yang akhirnya terusir, kehilangan akses ekonomi, atau mengalami tekanan mental.
Namun kini, gerakan perempuan adat mulai mengangkat isu ini ke permukaan. Mereka membentuk komunitas janda adat, mengadvokasi hak mereka ke lembaga adat, dan menciptakan ruang aman sesama perempuan kepala keluarga.
Sebagian komunitas juga mulai mengubah aturan waris agar janda tetap mendapat bagian, terutama jika memiliki anak. Ini adalah langkah kecil namun penting dalam menghapus diskriminasi struktural dalam adat.
Perlindungan perempuan kepala keluarga harus menjadi perhatian dalam reformasi hukum adat. Karena perempuan bukan beban, tetapi penggerak komunitas.
Integrasi Hukum Adat dan Hukum Negara yang Responsif Gender
Salah satu tantangan besar dalam mewujudkan keadilan gender dalam hukum adat adalah bagaimana hukum adat bisa diintegrasikan secara harmonis dengan hukum negara. Keduanya sering kali berjalan sendiri-sendiri, bahkan bertentangan dalam praktik.
Hukum negara bersifat formal, tertulis, dan cenderung kaku. Sementara hukum adat bersifat fleksibel dan kontekstual. Namun keduanya memiliki ruang pertemuan, terutama ketika menyangkut isu hak asasi manusia dan keadilan sosial.
Beberapa daerah sudah menerapkan pendekatan hukum hibrida, di mana penyelesaian konflik adat tetap melibatkan tokoh adat, tetapi mengikuti prinsip non-diskriminasi dan perlindungan terhadap kelompok rentan.
Pengadilan adat yang melibatkan perempuan sebagai hakim atau juru runding juga mulai bermunculan. Ini menandakan bahwa transformasi hukum adat sangat mungkin terjadi jika ada kemauan kolektif.
Sinkronisasi antara adat dan negara adalah kunci agar perempuan adat tidak lagi terpinggirkan dari sistem hukum yang seharusnya melindungi.
Kesimpulan
Sudah waktunya kita mengakui dan memperjuangkan hak-hak perempuan dalam hukum adat Indonesia.